Bab II
“A
|
ku Luna, putri raja Apollo. Siapa kau?” tanya kuda itu.
“Wah! Kau bisa bicara! Apa ini semacam lelucon?!” teriakku karena kaget. Aku
melihat ke luar jendela untuk melihat apakah
ada orang yang sedang mencoba mengerjaiku. Tapi, yah, tidak ada. Lalu, aku
melirik ke arah Luna. “A… a…aku… Carlos.” kataku tergagap.Tiba-tiba, aku merasa
penasaran. “Tunggu! Apa itu Universe Land?”
“Itu negeri tata
surya para kuda ajaib yang pernah dipimpin ayah – bundaku.” Luna menjelaskan.
“Fallows, penyihir yang jahat yang dibenci semua mahkluk itu dahulu pernah mengutuki
keluargaku menjadi patung. Fallows ingin menguasai Planet Pegasus, tapi tak
akan ada yang menurutinya selama aku, Sunsorn, dan Felia masih hidup.” “Tunggu!
Apa kau bilang kuda ajaib?! Kamu kan kuda poni bia - ” tanyaku kaget.
“Mundurlah.” perintah Luna.
Aku pun mundur.
Tiba - tiba Luna diselubungi asap ungu. Aku berteriak kaget. “HAAHH??!!” Tiba -
tiba, asap ungu tadi menghilang. Aku mengadah ke langit - langit. Aku melihat
seekor pegasus berwarna ungu yang sangat cantik. Pegasus tercantik yang pernah
kulihat. Surai dan ekornya berwarna hitam. Tanduk dan sayapnya berwarna ungu
gelap. Dia memakai mahkota dan tapal kuda berwarna hitam. Matanya sebiru
bajuku. Sayapnya dihiasi intan dan demikian pula jubahnya. Ia tersenyum padaku. “Luna?”
tanyaku tak percaya.
“Betul, ini aku,
Carlos. Jangan takut.” kata Luna lembut. “Wow, kau ternyata seekor pegasus.
Penyamaran yang brilian!” pujiku dengan jantung berdebar - debar pada Luna (bukan
karena suka, lo) yang terbang turun dan kembali menjadi seekor kuda poni
Shetland. Namun, air muka Luna menjadi sedih. Mata birunya berkaca - kaca. “Penyamaranku
ini tak akan berguna bila Fallows menggunakan sihirnya untuk menangkapku, Yang
Mulia.” katanya sedih. “Dan ada seseorang yang telah ditakdirkan untuk
menyelamatkan Fantasy World. Yaitu, kau sendiri!”
Aku? Ditakdirkan
menyelamatkan Fantasy World, tanah airku? Mungkin dia tidak waras.
“Kenapa aku? Aku
kan cuma pangeran penyihir! Aku tak punya keahlian khusus!” protesku. “Tentu
saja kau punya! Yaitu, di kuas ajaibmu!” bantah Luna, menunjuk ke arah kuas
ajaibku yang tergeletak di pojok kamarku. “Kuas?” tanyaku. Luna mengangguk,
tersenyum. “Betul. Hanya kau dan kuasmu yang mampu mengalahkan Fallows!”
“Aku tahu.” Kataku, tak peduli. Aku menguap.
“Sebaiknya aku kembali tidur. Sudah larut malam. Kau bisa tidur di bawah
tumpukan jerami di luar.” kataku kembali tidur. Luna mengganguk kemudian
menghilang ke luar. “Selamat tidur, Luna yang cantik.” Grok… Zzz… Grok… Zzz…
Mungkin aku memang bukan penyihir
biasa. Aku tersenyum membayangkan wajah kesal Rudey kalau aku menceritakannya.[]